Welcome Guest!
twitter facebook

,

Pemimpin dan Visi Perubahan

Genderang proses kampanye Pemilu 2014 telah dimulai. Hingar-bingar konsolidasi dan kampanye (terbuka maupun terbungkus) para Partai Politik maupun Tokoh yang kan running Pilpres nanti  terdengar diseluruh nusantara. Namun cara dan model tampaknya belum akan bergeser secara signifikan dari pola-pola kampanye pemilu-pemilu sebelumnya. Dimana dalam tiap kampanye atau sosialisasi selalu saja terjadi jualan janji, tebar pesona, pencitraan dan hiburan massal artis-artis papan atas, ditambah kalkulasi politik berbasis survey dan konsultan. Yang menarik, survey beberapa lembaga sejak pertengahan tahun 2012 hingga awal 2013 ini “berkesimpulan” rangkaian kampanye dan konsolidasi tokoh serta partai politik yang massif dengan mob’s politics itu cenderung sudah bisa terukur pengaruhnya terhadap perolehan suara partai (semisal rilis survey SMRC, Februari 2013), artinya ukuran perolehan suara Parpol sudah bisa diprediksi-menurut mereka- dengan atau tanpa kampanye sekalipun. Kecuali ada gebrakan dan lompatan strategi baru yang cukup menonjol.
Banyak indikator bisa kita runut sebagai hasil analisa terhadap pelaksaan “prediksi” hasil Pemilu 2014 m3ndatang tersebut. Sekurang-kurangnya tiga indikator diatas menjelaskan tiga poros penopang yang menghubungkan tiga gugus (1), Kompetisi partai politik yang semakin sedikit dan rivalitas caleg, (2) degradasi citra politisi dan kinerja legislatif-eksekutif (disemua level) dan (3), penilaian pemilih yang semakin terbuka. Dialektika tiga gugus ini tampaknya belum menggeser pola-pola lama yang selama ini diterapkan dalam pemilu-pemilu modern di Indonesia. Singkat kata, secara kualitatif, hasil Pemilu sebelumnya belum beranjak naik kelas, serta Pemilu 2014 semakin diuji hasilnya.
Menimbang Visi Politik
Dari pengalaman rangkaian prosesi suksesi demokrasi kita (Pemilukada dan Pemilu sebelumnya)  kita itu ada beberapa hal utama yang senantiasa diperbincangkan oleh partai-partai, caleg ataupun kepala daerah-yang incumbent pun kontestan baru. Yakni: (1) Mungkin yang mulai terdengar klise itu adalah Visi Politik dan Perubahan, (2) Komitmen untuk menjadi “bersih, pro rakyat, dan antikorupsi”, (3) Regenerasi Kepemimpinan (yang tentu lebih praksis aras tempurnya). Tentu saja soal Visi Politik dan Perubahan adalah pondasi substansial yang senantiasa melatarbelakangi transformasi kekuasaan semestinya. Visi Politik dimaksud bukan saja memberi cara pandang menyeluruh terhadap zaman dan masa depan bangsa, tetapi juga bisa dioperasionalisasikan sebagai jalan perubahan menuju kehidupan yang lebih baik secara konkrit masyarakat.
Dalam memori kolektif kita yang ditanam oleh para (calon) elit politik itu adalah janji-janji yang makin hari makin terdengar klise. Makin mengumbar janji maka makin kelihatan kebohongan yang terus diulang, namun jika tak ‘diamputasi’ bisa menjadi ‘kebenaran’ yang given. Kata-kata yang mengandung makna filosofis dan etis—seperti kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, keamanan, dan sebagainya—mengalami pendangkalan dan tak lagi diposisikan sebagai ‘amanah politik’ dimana seharusnya berakibat beban dan tanggungjawab yang wajib ditunai-tugaskan.
Artinya dinamika politik bangsa ini belum menjadikan kehidupan politik sebagai bagian dari kesadaran dan praktik kita menguatkan sendi-sendi hidup kolektif kita. Secara metodis, visi politik bisa digali dari beberapa aspek berikut yang saling tunjang. Semua aspek ini wajib dikonstruksi dalam satu ruang baca secara koherensif.
Pertama, perjalanan sejarah bangsa, yang dimulai sebagai sebuah unit ekonomi, unit sosial-kultural, lalu menjadi unit politik bersatu. Pemahaman dan penerimaan terhadap dinamika sejarah bangsa akan memberi cermin bagi kita dalam mengenali siklus naik dan siklus mundur kolektif dan cara-cara yang pernah digunakan sebagai respon terhadapnya. Dalam kaitan ini, visi politik harus menjadikan sejarah sebagai pengetahuan sekaligus pandangan hidup kedepan yang berlaku menyeluruh.
Kedua, pemahaman akan situasi dan kondisi zaman, kecenderungan, serta kekuatan-kekuatan (yang bersifat nyata pun virtual) yang menggerakkannya. Tanpa memahami zamannya tak mungkin sebuah bangsa akan eksis, bukan semata bio-politik, tetapi eksis dalam artian yang utuh : sebagai bangsa berdaulat. Dengan memahami situasi zamannya, maka sebuah bangsa bisa mendefiniskan kepentingan nasionalnya secara tegas, kedalam pun keluar.
Ketiga, mengenali secara utuh potensi internal sekaligus hambatan struktural yang membelenggu bangsa ini bergerak naik kasta. Pengenalan ini bukan saja paradigmatik, tetapi juga teknis, yang bisa berupa data base potensi sumberdaya manusia, sumberdaya alam, dan produk kebijakan yang telah diproduksi. Termasuk juga wajib mengenali ‘jejaring korporasi’ yang meguasai sumberdaya alam dan arus keuntungan yang tak dinikmati anak negeri.
Keempat, mendesain strategi pengelolaan jangka panjang, baik yang berkaitan dengan kebijakan maupun sumberdaya manusia yang akan mengelolanya. Strategi ini tentu diterjemahkan kedalam satu pentahapan historis tertentu sebagai sebuah bangunan skenario (scenario building) yang menjadi milik seluruh penghuni negeri, bukan milik kelompok tertentu saja.
Ironi Politik tanpa Visi
Ironisnya, dalam perjalanan sejarah bangsa ini, situasi hidup kolektif kita bukannya makin ringan jika diukur dari cita-cita pendirian republik ini 67 tahun silam (1945-2012). Semisal dalam situasi pergaulan internasional, peran kita dalam menciptakan tertib dunia internasional yang setara, damai, dan bermartabat bagi semua warga dunia tampaknya makin mengkerut dibawah bayang-bayang multiipolarisme China, Eropa, India dan Amerika Serikat. Walaupun mulai terlihat progress Indonesia menjadi kekuatan ekonomi dunia yang mulai diperhitungkan.
Juga dalam dalil normatif bahwa kemerdekaan hadir untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, faktanya, kita justru dihadapkan dengan derasnya komoditisasi pendidikan yang  menjadi orientasi dominan pembangunan sistem pendidikan nasional. Komoditisasi pendidikan bukan saja membuat pendidikan menjadi barang mahal dan ‘elitis’, tetapi juga memberi konsekuensi terhadap mobilitas vertikal rakyat. Bahwa mereka yang berlatar belakang bukan turunan the havest agar tetap ‘ikhlas’ menerima ‘takdir struktural ‘berdiam didasar stratifikasi sosial-ekonomi.
Dua ironi diatas menjadi penegas bahwa hingar-bingar politik formal kita dan out-put yang dihasilkan olehnya makin menjauhkan capaian nyata dan cita-cita kemerdekaan sebagaimana diamanahkan didalam pembukaan UUD 1945.
Ketiadaan visi politik dalam pagelaran politik nasional, formal pun keseharian hidup,hanya menistakan kesucian (ber)politik ini sendiri. Tanpa visi politik, episode kehidupan politik kita yang formal, seperti pemilu, hanya akan berulang menjadi rutinitas struktural yang mekanik dan degradatif. Semoga kita sebagai generasi yang sadar terhadap mandate sejarah sekaligus politik masa depan ini senantiasa “teguh sekaligus tercerahkan.

2 komentar

  1. Assalamu Alaikum. Kami orang Bone yang ada di rantauan bangga bila ada putra Bone berhasil di level lebih tinggi lagi. Bapak Andi Irwandi sangat memenuhi syarat. mari kita memberi dukungan

  2. Maju Bone Biar tambah cakep

Komentar Anda


Latest Posts

MOMENTUM : 9 APRIL 2014

________LOJENG PULAWENG________

Our Sponsors

Our Sponsors

andi irwandi natsir