Opini,
Menyikapi Politik Pencitraan Lewat Baliho
Posted Unknown
Published Minggu, 21 April 2013
Tak
terasa lima tahun hampir berlalu, beberapa bulan lagi musim baliho dari
orang-orang yang merasa pantas menjadi bakal calon legislatif di
kabupaten Bone akan bertebaran di mana-mana.
Baliho tidak hanya terpampang di dalam kota Watampone, tetapi akan
merambah keluar kota, di sepanjang tepi jalan hingga ke kecamatan dan
desa di seluruh Bumi Arung Palakka. Beberapa orang yang merasa punya
kans "dilirik" oleh partai politik, tak ketinggalan pula pasti akan
memasang baliho di wilayah yang dianggap memiliki peluang untuk
dijadikan basis.
Tak
jelas, apakah pemasangan ribuan foto diri lewat baliho ukuran besar
tersebut mengindikasikan sang tokoh telah terjangkit narsisme yang akut.
Gejalanya, tak perduli terpilih atau tidak terpilih sebagai calon yang
penting foto diri telah bertebar di mana-mana, yang penting tambah
terkenal. Semua baliho di samping terpampang foto diri, juga ada
slogan-slogan yang mempromosikan janji-janji politiknya.
Promosi
politik untuk mendongkrak citra diri melalui baliho sepertinya menjadi
"penyakit baru" yang melahirkan dekadensi moral bagi mereka yang
berambisi menjadi kepala daerah ataupun Caleg. Tak perlu memiliki visi
dan misi yang logis, cukup dengan memajang gambar diri dengan senyum
lebar tanpa dosa ditambah janji-janji, maka seseorang sudah bisa mengaku
diri sebagai calon pemimpin masa depan.
Memang,
bila sepintas lalu, tidak ada yang salah dengan isi baliho tersebut,
bahkan umum ditemui. Namun yang membuat miris dan sakit hati adalah saat
membaca baliho tersebut itu di tengah jalan yang rusak parah, becek dan
tergenang air. Hal ini tentu membuat rakyat berpikir bahwa pemimpin itu
hanya bisa omong doang, membual gombal, dan hanya tipu-tipu. Nah, dalam
kondisi ini disuguhi pula senyuman caleg atau calaon kepala daerah yang
mau maju.
Ada
fenomena unik aneh tapi nyata, dalam mudik Lebaran melewati beberapa
ruas jalan antar kabupaten/kota di Sulawesi Selatan pada umumnya,
beberapa waktu lalu. Baliho beberapa kepala daerah dari kabupaten/kota
yang berniat maju dalam Pilgub Sulsel, tertempel di sepanjang jalan.
Namun jalannya penuh lubang, tidak rata, berdebu, dan sangat rawan
kecelakaan. Bukankah yang terluap adalah sumpah serapah, makian, dan
cacian yang tiada henti. "Apa prestasimu! Kok, kamu masih bisa tersenyum
di atas penderitaan rakyat seperti ini?"
Apakah
mereka tidak punya rasa malu lagi? Kok, berani-beraninya maju dalam
Pilgub ataupun Caleg padahal ketika memimpin kabupaten/kota saja masih
banyak masalah belum teratasi. Padahal rakyat yang melihatnya, lebih
berpikir dari pada sang kepala daerah ataupun buang-buang uang untuk
memasang baliho, lebih baik untuk dana pembangunan. Pemimpin harus peka
setelah membaca ini. Alih-alih menempel baliho, spanduk, dan poster di
mana-mana dengan tulisan, "Pilih Saya!" mending menulis "Maafkan Saya". Lebih simpatik dan lebih memahami perasaan rakyat yang dipimpinnya atau warga basis pemilihannnya bagi Caleg.
Kurang Efektif dan Terkesan Narsis
Terdapat
pelbagai faktor penyebab seseorang cenderung menjadi narsis.
Faktor-faktor tersebut antara lain adalah faktor keturunan dan faktor
persekitaran. Narsis biasanya timbul akibat daripada pujian dan
penghormatan yang diterima berulang kali daripada individu lain. Sebagai
contoh, seseorang akan berasa dirinya cantik karena acapkali menerima
pujian bahwa dirinya cantik meskipun pada awalnya dia tidak merasa
dirinya sedemikian. Narsis tidak hanya termanifestasi pada perilaku yang
gemar memuji dirinya sendiri, kerap menghadap cermin atau kerap bergaya
persis model, tetapi juga terdapat implikasi lain daripada sikap narsis
itu sendiri.
Selain
gejala narsisme ada juga niat dari orang-orang tersebut memasang baliho
adalah untuk memperkenalkan diri. Hal ini sebenarnya memalukan sekali.
Itu berarti menunjukkan bahwa orang tersebut boleh jadi satu atau lebih
dari tiga hal ini. Pertama, orang tersebut tidak dikenal, kedua tidak
terkenal atau ketiga orang tersebut tidak berarti bagi rakyat di daerah
ini. Jika tetap ngotot dengan politik pencitraan lewat baliho berarti
orang tersebut memaksakan diri untuk dikenal dan terkenal padahal
sebenarnya tidak.
"Kok
hari gini baru mengenalkan diri kepada rakyat?" Kalau memang Anda di
hati rakyat, yang sudah terbukti pengorbanan dan kontribusinya kepada
masyarakat, tidak perlu baliho pun rakyat sudah memperkenalkan anda dari
mulut ke mulut, bahkan dari hati ke hati. Bukan saatnya lagi pemimpin
tebar pesona dengan politik baliho. Percuma pasang itu semua di
mana-mana, namun rakyat hanya tahu nama, tapi tidak tahu prestasinya
apa, rekam jejaknya bagaimana.
Menurut direktur eksekutif Lembaga Seni Budaya Teluk Bone menyebut fenomena spanduk-spanduk politik sebagai POLITIK SPANDUK.
Para pejabat dan politisi menurutnya gemar memanfaatkan perayaan
hari-hari besar seperti Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru untuk tampil di
baliho dan spanduk. "Ini lebih sebagai pencitraan, dan popularitas
mereka. Juga dapat dimaknai representasi kegagalan mereka hadir di
masyarakat sehingga harus melalui spanduk politik,". Pada umumnya hanya
mencari popularitas tapi bukan favoritas. ungkapnya.
Baliho merupakan bentuk komunikasi dengan publik. Akan tetapi bukan hanya itu
sebagai alat satu-satunya. Pemamfaatan Teknologi Informasi baik media
massa maupun internet. Teknologi lewat internet dapat dilakukan dengan
cara membuat blog/website pribadi yang tidak terlalu banyak menggunakan
biaya seperti www.irwandinatsir.blogspot.com Alat komunikasi ini mampu diakses dimana-mana walaupun hanya searah.
Dari pada masyarakat dipaksa menengok baliho/foto para tokoh itu, tanpa
ada nilai yang lebih berarti. Komunikasi seperti itu merupakan bentuk
egoisme calon pemimpin terhadap rakyat. Mereka hanya ingin dilihat dan
didengar, tapi tidak mau melihat, mendengar dan merasakan apa yang
diinginkan rakyat.
Masyarakat
tentu tidak akan terkelabui oleh propaganda baliho yang dilakukan oleh
para bakal calon (balon). Pada saat ini seharusnya para balon harus
lebih konsentrasi untuk mendapatkan dukungan dari partai politik.
Sehingga baliho, spanduk atau poster kurang efektif dijadikan ruang
untuk membeberkan visi dan misi para kandidat. Lebih baik menggunakan
media massa agar visi misinya bisa dipaparkan secara panjang lebar. Agar
rakyat bisa tahu sejak dini. Pasanglah advetorial atau iklan, itu lebih
efektif. Sampaikan visi, misi dan apa program-programnya, sehingga
partai politik akan tertarik pada sang calon.
Romain
Lachat dan Pascal Schiarini (2002) berpendapat dalam buku, Do Political
Campaigns Matter? Bahwa kampanye yang dilakukan dalam tenggat waktu
singkat cenderung tak akan menyentuh para pemilih. Hal itu sepertinya
tidak dipahami oleh para politisi di republik ini. Kecenderungan yang
terjadi adalah mereka memilih berkampanye ala kadarnya. Apalagi mereka
percaya bahwa bobot "uang kampanye" sangat menentukan keterpilihan. Itu
sebabnya program yang dijalankan pun lebih kepada pencitraan. Baliho dan
spanduk berserakan di mana-mana. Sekadar agar orang tahu bahwa dia ikut
pencalonan. Setelah itu, menurut mereka, biarkan "uang" yang berbicara.
Ironinya mereka tidak mengindahkan etika lingkungan, sosial dan
keindahan kota.
Padahal
kampanye dengan mengandalkan uang tak memberikan jaminan keterpilihan.
Para pemilih memiliki logikanya sendiri. Hanya dengan program yang
terencana dan bertahaplah membuat seseorang mampu dicintai oleh para
pemilih. Prestasi kerja harus diraih jauh sebelumnya, rekam jejak telah
terbukti sebagai orang yang bersih dan jujur.
Jika
ia berasal dari golongan non-pemerintahan, jawabannya adalah kerja
sosial yang sungguh-sungguh menyentuh publik pemilih. Ia kerja sosial,
memberi bea siswa bagi anak miskin, bagi-bagi sembako atau mengadakan
pengobatan gratis tidak hanya menjelang kampanye saja. Tapi kerja sosial
tersebut telah ia lakukan rutin dan berkesinambungan bertahun-tahun
sebelumnya.
Belajar dari Jakarta
Pilkada
Jakarta telah berlalu, pilkada ini merupakan pelajaran berarti bagi
para calon Legislatif dan kepala daerah. Kemenangan Jokowi-Basuki atas
petahana (incumbent) menunjukkan rakyat lebih suka pemimpin yang membumi
dan terbukti bekerja.
Para
calon kepala daerah jangan terlalu terpukau oleh koalisi partai politik
pengusung yang jumlahnya banyak. Berkoalisilah dengan rakyat, jangan
hambur-hamburkan uangmu yang hanya akan menggodamu untuk melakukan
korupsi di kemudian hari jika menjabat.
Meskinya,
yang mau maju memimpin harus menyimak pelbagai perkembangan politik
tanah air yang terjadi. Pilkada Jakarta adalah contoh berarti, bagaimana
kecenderungan rakyat pemilih mengalami perubahan yang amat pesat.
Mereka butuh bukti bukan janji, apalagi manipulasi baliho yang terbukti
tidak substansial menyentuh perasaan publik. Bahkan tak jarang
menimbulkan antipati.
Pemimpin
yang "matang" itulah yang jarang. Mereka digerus pengalaman dan mau
belajar dari dasar. Bukan yang terburu-buru meloncat ingin berkuasa,
calon-calon pemimpin instan yang tak jelas rekam jejaknya. Itu sebabnya
Jean Blondel dalam bukunya, Political Leadership, Towards a General
Analysis (1987) menyatakan bahwa antara pemimpin (leader) dan ketua
(chief) tak bisa disamakan. Bak langit dan bumi. Menjadi pemimpin tak
bisa di-samakan dengan manajer di sebuah perusahaan. Meskipun pernah
memimpin sebuah perusahaan adalah aspek penunjang namun bukan berarti
segala-galanya.
Alangkah
nekatnya seseorang yang merasa mampu memimpin negeri ini dengan alasan
bahwa ia merupakan pemimpin sebuah/lebih perusahaan. Dalam ruang opini
ini, saya berharap bisa mengingatkan para calon pemimpin di daerah ini
untuk bercermin diri. Bahwa sudah tak zamannya lagi mendekati rakyat
dengan kampanye "menjual diri" melalui umbar janji dan pajang foto
sana-sini. Pemimpin yang baik itu bukan lahir dari proses karbitan yang
instan tapi lahir dari akar rumput. Tapi melalui proses yang panjang
untuk mematangkan diri. Untuk para calon pemimpin di masa akan datang
hendaklah bekerja dan bekerja, suatu waktu nanti kerja itu akan berbuah
manis. Rakyat dengan sendirinya yang akan meminta Anda untuk memimpin.
Tak perlu lagi memajang diri dalam baliho yang besar-besar. Tak perlu
melakukan politik pencitraan lewat baliho, tapi lakukanlah pencitraan
lewat prestasi dan rekam jejak yang gemilang.
Modal
menjadi pemimpin itu tak cukup hanya dukungan parpol, banyaknya materi,
apalagi cuma pemasangan ribuan baliho. Diperlukan kecerdasan,
kedisiplinan dan kegigihan yang luar biasa dalam mengurai benang kusut
visi dan misi yang hendak dicapai agar tujuan bisa terwujud.
Ayo Kampanye Tanpa Stiker, Poster, Baliho
Tahun
2013 yang disebut sebagai tahun politik merupakan moment untuk
melakukan persiapan dan penggalangan kekuatan bagi para kandidat calon
wakil rakyat, juga calon presiden yang akan mengikuti perhelatan pesta
demokrasi pada tahun 2014 mendatang. Ada banyak cara kampanye yang
ditempuh untuk memenangkan pertarungan politik , baik oleh individu
calon wakil rakyat, partai politik, maupun calon presiden itu. Tak
ketinggalan pula, kini beberapa calon kepala daerah juga berkampanye
agar menang dalam pilkada.
Melalui
tulisan ini, penulis ingin mengajak kepada seluruh kontestan yang akan
bertarung dalam pesta demokrasi (pemilu) untuk tidak lagi menggunakan
alat peraga berupa stiker, poster, baliho dan sejenisnya yang hanya akan
mengotori dan merusak pemandangan saja. Dalam beberapa kali kesempatan
penulis mengunjungi beberapa kecamatan di kabupaten Bone untuk
pengambilan gambar selalu terganggu dengan keberadaan alat peraga yang
dipasang dimana-mana itu. Selain merusak estetika, juga kampanye semacam
itu tidak efektif untuk pendidikan demokrasi ke depan.
Pada
pilkada DKI lalu, Jokowi menyatakan diri tidak menggunakan berbagai
atribut tersebut untuk kampanyenya, salah satu alasannya karena Jokowi
tidak mau mengotori kota Jakarta. Meski pun masih ada beberapa alat
peraga kampanye yang dipasang oleh pendukung maupun simpatisannya.
Ada beberapa alasan mengapa penulis menghimbau, mengajak, dan juga menentang kampanye dengan berbagai alat peraga tersebut:
Pertama, selain mengotori lingkungan bahkan membunuh pohon-pohon akibat bekas-bekas paku. Bone merupakan
daerah tujuan wisata akan sangat mengganggu daya tarik bagi wisatawan,
terutama pada saat akan mengabadikan keindahannya. Di samping juga untuk
proses pembersihannya jpun sulit, terutama untuk stiker yang dipasang
disembarang tempat dengan lem yang kuat.
Kedua,
kampanye dengan menebar pesona melalui poster, stiker, baliho dan
sejenisnya itu hanya menjadikan para kandidat bak selebritis, yang
justru menjauhkannya dari calon pemilihnya. Cara ampuh yang ditempuh
dengan masuk ke kampung-kampung, gang-gang sempit untuk bertemu langsung
dengan masyarakat sebaiknya dilakukan oleh para kandidat yang akan
berkampanye. Dengan demikian, para kandidat itu dapat mendengar langsung
aspirasi, keluh-kesah, maupun apa yang dibutuhkan warga calon
pemilihnya. Dalam kampanyenya juga, sebaiknay tidak mengumpulkan orang ,
tapi lebih mendatangi warga. Sehingga mampu memberi “kehangatan” dengan
jiwanya yang mengayomi. Kini masyarakat kabupaten Bone membutuhkan
tokoh yang seperti itu.
Ketiga,
apabila kita simak beberapa isi pesan dalam poster, stiker, baliho dan
sejenisnya itu biasanya hanya menampilkan slogan yang terkadang hanya
berupa janji-janji belaka. Kini sudah waktunya para kandidat itu tampil
smart dengan menggali aspirasi lalu menawarkan solusi.
Keempat,
dengan waktu yang masih relatif panjang sebelum masa kampanye yang
diatur KPU nantinya tiba, seyogyanya para kandidat itu mulai mengisinya
dengan berbagai langkah, tindakan yang langsung bersentuhan dengan
masalah masyarakat. Kini berlomba-lombalah membangun rasa percaya diri
masyarakat, kembangkan optimisme, tumbuhkan basis ekonomi kerakyatan,
dan buka ruang-ruang demokrasi dari tingkat yang paling bawah. Sehingga
akhirnya masyarakat akan mudah menilai siapa yang layak dipilihnya
sesuai hati nurani.
Kelima,
alihkan biaya produksi poster, stiker, baliho dll itu untuk modal usaha
masyarakat paling bawah, menciptakan home industry misalnya untuk
pengolahan sampah atau barang bekas, atau untuk membeli bibit pohon,
dsb, sehingga memotivasi warga untuk lebih kreatif, peduli lingkungan
dan jauh bermanfaat untuk kemaslahatan masyarakat ke depannya. Tidak
lagi menempel foto diri di pohon-pohon di sepanjang jalan.
Disini
penulis memohon maaf kepada para pengusaha percetakan, bukan maksud
untuk mematikan usahanya. Tapi percayalah, rejeki sudah diatur oleh
Allah Yang Maha Kuasa yang tiap hari menerbitkan matahari dari timur.
Masih banyak lagi strategi kampanye yang bisa dilakukan oleh para
kandidat, terutama yang berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat,
dari pada sekadar tebar pesona dengan pasang foto di segala penjuru kota
maupun daerah.
Yang
terhormat para calon wakil rakyat, maupun calon pemimpin peserta
pemilu, pastikan, dengan kepedulian terhadap persoalan masyarakat calon
pemilih, dengan kerja nyata, dan pemberian solusi atas masalah yang
dihadapi rakyat, wajah Anda akan tertanam di hati rakyat, bukan sekadar
terpampang di poster, stiker, baliho dan lainnya.
Kepada
pembaca tulisan ini, mohon berkenan sampaikan imbauan ini pada kerabat,
saudara, tetangga atau orang yang Anda dukung untuk tidak menggunakan
media tersebut sebagai alat kampanye. (Teluk Bone)
0 komentar
Komentar Anda