Welcome Guest!
twitter facebook

,

Menyikapi Politik Pencitraan Lewat Baliho

Tak terasa lima tahun hampir berlalu, beberapa bulan lagi musim baliho dari orang-orang yang merasa pantas menjadi bakal calon legislatif di kabupaten Bone  akan  bertebaran di mana-mana. Baliho tidak hanya terpampang di dalam kota Watampone, tetapi akan merambah keluar kota, di sepanjang tepi jalan hingga ke kecamatan dan desa di seluruh Bumi Arung Palakka. Beberapa orang yang merasa punya kans "dilirik" oleh partai politik, tak ketinggalan pula pasti akan memasang baliho di wilayah yang dianggap memiliki peluang untuk dijadikan basis.
Tak jelas, apakah pemasangan ribuan foto diri lewat baliho ukuran besar tersebut mengindikasikan sang tokoh telah terjangkit narsisme yang akut. Gejalanya, tak perduli terpilih atau tidak terpilih sebagai calon  yang penting foto diri telah bertebar di mana-mana, yang penting tambah terkenal. Semua baliho di samping terpampang foto diri, juga ada slogan-slogan yang mempromosikan janji-janji politiknya.
Promosi politik untuk mendongkrak citra diri melalui baliho sepertinya menjadi "penyakit baru" yang melahirkan dekadensi moral bagi mereka yang berambisi menjadi kepala daerah ataupun Caleg. Tak perlu memiliki visi dan misi yang logis, cukup dengan memajang gambar diri dengan senyum lebar tanpa dosa ditambah janji-janji, maka seseorang sudah bisa mengaku diri sebagai calon pemimpin masa depan.
Memang, bila sepintas lalu, tidak ada yang salah dengan isi baliho tersebut, bahkan umum ditemui. Namun yang membuat miris dan sakit hati adalah saat membaca baliho tersebut itu di tengah jalan yang rusak parah, becek dan tergenang air. Hal ini tentu membuat rakyat berpikir bahwa pemimpin itu hanya bisa omong doang, membual gombal, dan hanya tipu-tipu. Nah, dalam kondisi ini disuguhi pula senyuman caleg atau calaon kepala daerah yang mau maju.
Ada fenomena unik aneh tapi nyata, dalam mudik Lebaran melewati beberapa ruas jalan antar kabupaten/kota di Sulawesi Selatan pada umumnya, beberapa waktu lalu. Baliho beberapa kepala daerah dari kabupaten/kota yang berniat maju dalam Pilgub Sulsel, tertempel di sepanjang jalan. Namun jalannya penuh lubang, tidak rata, berdebu, dan sangat rawan kecelakaan. Bukankah yang terluap adalah sumpah serapah, makian, dan cacian yang tiada henti. "Apa prestasimu! Kok, kamu masih bisa tersenyum di atas penderitaan rakyat seperti ini?"
Apakah mereka tidak punya rasa malu lagi? Kok, berani-beraninya maju dalam Pilgub ataupun Caleg padahal ketika memimpin kabupaten/kota saja masih banyak masalah belum teratasi. Padahal rakyat yang melihatnya, lebih berpikir dari pada sang kepala daerah ataupun buang-buang uang untuk memasang baliho, lebih baik untuk dana pembangunan. Pemimpin harus peka setelah membaca ini. Alih-alih menempel baliho, spanduk, dan poster di mana-mana dengan tulisan, "Pilih Saya!" mending menulis "Maafkan Saya". Lebih simpatik dan lebih memahami perasaan rakyat yang dipimpinnya atau warga basis pemilihannnya bagi Caleg.
Kurang Efektif dan Terkesan Narsis
Terdapat pelbagai faktor penyebab seseorang cenderung menjadi narsis. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah faktor keturunan dan faktor persekitaran. Narsis biasanya timbul akibat daripada pujian dan penghormatan yang diterima berulang kali daripada individu lain. Sebagai contoh, seseorang akan berasa dirinya cantik karena acapkali menerima pujian bahwa dirinya cantik meskipun pada awalnya dia tidak merasa dirinya sedemikian. Narsis tidak hanya termanifestasi pada perilaku yang gemar memuji dirinya sendiri, kerap menghadap cermin atau kerap bergaya persis model, tetapi juga terdapat implikasi lain daripada sikap narsis itu sendiri.
Selain gejala narsisme ada juga niat dari orang-orang tersebut memasang baliho adalah untuk memperkenalkan diri. Hal ini sebenarnya memalukan sekali. Itu berarti menunjukkan bahwa orang tersebut boleh jadi satu atau lebih dari tiga hal ini. Pertama, orang tersebut tidak dikenal, kedua tidak terkenal atau ketiga orang tersebut tidak berarti bagi rakyat di daerah ini. Jika tetap ngotot dengan politik pencitraan lewat baliho berarti orang tersebut memaksakan diri untuk dikenal dan terkenal padahal sebenarnya tidak.
"Kok hari gini baru mengenalkan diri kepada rakyat?" Kalau memang Anda di hati rakyat, yang sudah terbukti pengorbanan dan kontribusinya kepada masyarakat, tidak perlu baliho pun rakyat sudah memperkenalkan anda dari mulut ke mulut, bahkan dari hati ke hati. Bukan saatnya lagi pemimpin tebar pesona dengan politik baliho. Percuma pasang itu semua di mana-mana, namun rakyat hanya tahu nama, tapi tidak tahu prestasinya apa, rekam jejaknya bagaimana.
Menurut direktur eksekutif Lembaga Seni Budaya Teluk Bone menyebut fenomena spanduk-spanduk politik sebagai POLITIK SPANDUK. Para pejabat dan politisi menurutnya gemar memanfaatkan perayaan hari-hari besar seperti Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru untuk tampil di baliho dan spanduk. "Ini lebih sebagai pencitraan, dan popularitas mereka. Juga dapat dimaknai representasi kegagalan mereka hadir di masyarakat sehingga harus melalui spanduk politik,". Pada umumnya hanya mencari popularitas tapi bukan favoritas. ungkapnya.
Baliho merupakan bentuk komunikasi dengan publik. Akan tetapi bukan hanya  itu sebagai alat satu-satunya. Pemamfaatan Teknologi Informasi baik media massa maupun internet. Teknologi lewat internet dapat dilakukan dengan cara membuat blog/website pribadi yang tidak terlalu banyak menggunakan biaya seperti www.irwandinatsir.blogspot.com Alat komunikasi ini mampu diakses dimana-mana walaupun hanya searah. Dari pada masyarakat dipaksa menengok baliho/foto para tokoh itu, tanpa ada nilai yang lebih berarti. Komunikasi seperti itu merupakan bentuk egoisme calon pemimpin terhadap rakyat. Mereka hanya ingin dilihat dan didengar, tapi tidak mau melihat, mendengar dan merasakan apa yang diinginkan rakyat.
Masyarakat tentu tidak akan terkelabui oleh propaganda baliho yang dilakukan oleh para bakal calon (balon). Pada saat ini seharusnya para balon harus lebih konsentrasi untuk mendapatkan dukungan dari partai politik. Sehingga baliho, spanduk atau poster kurang efektif dijadikan ruang untuk membeberkan visi dan misi para kandidat. Lebih baik menggunakan media massa agar visi misinya bisa dipaparkan secara panjang lebar. Agar rakyat bisa tahu sejak dini. Pasanglah advetorial atau iklan, itu lebih efektif. Sampaikan visi, misi dan apa program-programnya, sehingga partai politik akan tertarik pada sang calon.
Romain Lachat dan Pascal Schiarini (2002) berpendapat dalam buku, Do Political Campaigns Matter? Bahwa kampanye yang dilakukan dalam tenggat waktu singkat cenderung tak akan menyentuh para pemilih. Hal itu sepertinya tidak dipahami oleh para politisi di republik ini. Kecenderungan yang terjadi adalah mereka memilih berkampanye ala kadarnya. Apalagi mereka percaya bahwa bobot "uang kampanye" sangat menentukan keterpilihan. Itu sebabnya program yang dijalankan pun lebih kepada pencitraan. Baliho dan spanduk berserakan di mana-mana. Sekadar agar orang tahu bahwa dia ikut pencalonan. Setelah itu, menurut mereka, biarkan "uang" yang berbicara. Ironinya mereka tidak mengindahkan etika lingkungan, sosial dan keindahan kota.
Padahal kampanye dengan mengandalkan uang tak memberikan jaminan keterpilihan. Para pemilih memiliki logikanya sendiri. Hanya dengan program yang terencana dan bertahaplah membuat seseorang mampu dicintai oleh para pemilih. Prestasi kerja harus diraih jauh sebelumnya, rekam jejak telah terbukti sebagai orang yang bersih dan jujur.
Jika ia berasal dari golongan non-pemerintahan, jawabannya adalah kerja sosial yang sungguh-sungguh menyentuh publik pemilih. Ia kerja sosial, memberi bea siswa bagi anak miskin, bagi-bagi sembako atau mengadakan pengobatan gratis tidak hanya menjelang kampanye saja. Tapi kerja sosial tersebut telah ia lakukan rutin dan berkesinambungan bertahun-tahun sebelumnya.
Belajar dari Jakarta
Pilkada Jakarta telah berlalu, pilkada ini merupakan pelajaran berarti bagi para calon Legislatif dan kepala daerah. Kemenangan Jokowi-Basuki atas petahana (incumbent) menunjukkan rakyat lebih suka pemimpin yang membumi dan terbukti bekerja.
Para calon kepala daerah jangan terlalu terpukau oleh koalisi partai politik pengusung yang jumlahnya banyak. Berkoalisilah dengan rakyat, jangan hambur-hamburkan uangmu yang hanya akan menggodamu untuk melakukan korupsi di kemudian hari jika menjabat.
Meskinya, yang mau maju memimpin harus menyimak pelbagai perkembangan politik tanah air yang terjadi. Pilkada Jakarta adalah contoh berarti, bagaimana kecenderungan rakyat pemilih mengalami perubahan yang amat pesat. Mereka butuh bukti bukan janji, apalagi manipulasi baliho yang terbukti tidak substansial menyentuh perasaan publik. Bahkan tak jarang menimbulkan antipati.
Pemimpin yang "matang" itulah yang jarang. Mereka digerus pengalaman dan mau belajar dari dasar. Bukan yang terburu-buru meloncat ingin berkuasa, calon-calon pemimpin instan yang tak jelas rekam jejaknya. Itu sebabnya Jean Blondel dalam bukunya, Political Leadership, Towards a General Analysis (1987) menyatakan bahwa antara pemimpin (leader) dan ketua (chief) tak bisa disamakan. Bak langit dan bumi. Menjadi pemimpin tak bisa di-samakan dengan manajer di sebuah perusahaan. Meskipun pernah memimpin sebuah perusahaan adalah aspek penunjang namun bukan berarti segala-galanya.
Alangkah nekatnya seseorang yang merasa mampu memimpin negeri ini dengan alasan bahwa ia merupakan pemimpin sebuah/lebih perusahaan. Dalam ruang opini ini, saya berharap bisa mengingatkan para calon pemimpin di daerah ini untuk bercermin diri. Bahwa sudah tak zamannya lagi mendekati rakyat dengan kampanye "menjual diri" melalui umbar janji dan pajang foto sana-sini. Pemimpin yang baik itu bukan lahir dari proses karbitan yang instan tapi lahir dari akar rumput. Tapi melalui proses yang panjang untuk mematangkan diri. Untuk para calon pemimpin di masa akan datang hendaklah bekerja dan bekerja, suatu waktu nanti kerja itu akan berbuah manis. Rakyat dengan sendirinya yang akan meminta Anda untuk memimpin. Tak perlu lagi memajang diri dalam baliho yang besar-besar. Tak perlu melakukan politik pencitraan lewat baliho, tapi lakukanlah pencitraan lewat prestasi dan rekam jejak yang gemilang.
Modal menjadi pemimpin itu tak cukup hanya dukungan parpol, banyaknya materi, apalagi cuma pemasangan ribuan baliho. Diperlukan kecerdasan, kedisiplinan dan kegigihan yang luar biasa dalam mengurai benang kusut visi dan misi yang hendak dicapai agar tujuan bisa terwujud.
 
Ayo Kampanye Tanpa Stiker, Poster, Baliho
 
Tahun 2013 yang disebut sebagai tahun politik merupakan moment untuk melakukan persiapan dan penggalangan kekuatan bagi para kandidat calon wakil rakyat, juga calon presiden yang akan mengikuti perhelatan pesta demokrasi pada tahun 2014 mendatang. Ada banyak cara kampanye yang ditempuh untuk memenangkan pertarungan politik , baik oleh individu calon wakil rakyat, partai politik, maupun calon presiden itu. Tak ketinggalan pula, kini beberapa calon kepala daerah juga berkampanye agar menang dalam pilkada.
Melalui tulisan ini, penulis ingin mengajak kepada seluruh kontestan yang akan bertarung dalam pesta demokrasi (pemilu) untuk tidak lagi menggunakan alat peraga berupa stiker, poster, baliho dan sejenisnya yang hanya akan mengotori dan merusak pemandangan saja. Dalam beberapa kali kesempatan penulis mengunjungi beberapa kecamatan di kabupaten Bone untuk pengambilan gambar selalu terganggu dengan keberadaan alat peraga yang dipasang dimana-mana itu. Selain merusak estetika, juga kampanye semacam itu tidak efektif untuk pendidikan demokrasi ke depan.
Pada pilkada DKI lalu, Jokowi menyatakan diri tidak menggunakan berbagai atribut tersebut untuk kampanyenya, salah satu alasannya karena Jokowi tidak mau mengotori kota Jakarta. Meski pun masih ada beberapa alat peraga kampanye yang dipasang oleh pendukung maupun simpatisannya.
Ada beberapa alasan mengapa penulis menghimbau, mengajak, dan juga menentang kampanye dengan berbagai alat peraga tersebut:
Pertama, selain mengotori lingkungan bahkan membunuh pohon-pohon akibat bekas-bekas paku. Bone  merupakan daerah tujuan wisata akan sangat mengganggu daya tarik bagi wisatawan, terutama pada saat akan mengabadikan keindahannya. Di samping juga untuk proses pembersihannya jpun sulit, terutama untuk stiker yang dipasang disembarang tempat dengan lem yang kuat.
Kedua, kampanye dengan menebar pesona melalui poster, stiker, baliho dan sejenisnya itu hanya menjadikan para kandidat bak selebritis, yang justru menjauhkannya dari calon pemilihnya. Cara ampuh yang ditempuh dengan masuk ke kampung-kampung, gang-gang sempit untuk bertemu langsung dengan masyarakat sebaiknya dilakukan oleh para kandidat yang akan berkampanye. Dengan demikian, para kandidat itu dapat mendengar langsung aspirasi, keluh-kesah, maupun apa yang dibutuhkan warga calon pemilihnya. Dalam kampanyenya juga, sebaiknay tidak mengumpulkan orang , tapi lebih mendatangi warga. Sehingga mampu memberi “kehangatan” dengan jiwanya yang mengayomi. Kini masyarakat kabupaten Bone membutuhkan tokoh yang seperti itu.
Ketiga, apabila kita simak beberapa isi pesan dalam poster, stiker, baliho dan sejenisnya itu biasanya hanya menampilkan slogan yang terkadang hanya berupa janji-janji belaka. Kini sudah waktunya para kandidat itu tampil smart dengan menggali aspirasi lalu menawarkan solusi.
Keempat, dengan waktu yang masih relatif panjang sebelum masa kampanye yang diatur KPU nantinya tiba, seyogyanya para kandidat itu mulai mengisinya dengan berbagai langkah, tindakan yang langsung bersentuhan dengan masalah masyarakat. Kini berlomba-lombalah membangun rasa percaya diri masyarakat, kembangkan optimisme, tumbuhkan basis ekonomi kerakyatan, dan buka ruang-ruang demokrasi dari tingkat yang paling bawah. Sehingga akhirnya masyarakat akan mudah menilai siapa yang layak dipilihnya sesuai hati nurani.
Kelima, alihkan biaya produksi poster, stiker, baliho dll itu untuk modal usaha masyarakat paling bawah, menciptakan home industry misalnya untuk pengolahan sampah atau barang bekas, atau untuk membeli bibit pohon, dsb, sehingga memotivasi warga untuk lebih kreatif, peduli lingkungan dan jauh bermanfaat untuk kemaslahatan masyarakat ke depannya. Tidak lagi menempel foto diri di pohon-pohon di sepanjang jalan.
Disini penulis memohon maaf kepada para pengusaha percetakan, bukan maksud untuk mematikan usahanya. Tapi percayalah, rejeki sudah diatur oleh Allah Yang Maha Kuasa yang tiap hari menerbitkan matahari dari timur. Masih banyak lagi strategi kampanye yang bisa dilakukan oleh para kandidat, terutama yang berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat, dari pada sekadar tebar pesona dengan pasang foto di segala penjuru kota maupun daerah.
Yang terhormat para calon wakil rakyat, maupun calon pemimpin peserta pemilu, pastikan, dengan kepedulian terhadap persoalan masyarakat calon pemilih, dengan kerja nyata, dan pemberian solusi atas masalah yang dihadapi rakyat, wajah Anda akan tertanam di hati rakyat, bukan sekadar terpampang di poster, stiker, baliho dan lainnya.
Kepada pembaca tulisan ini, mohon berkenan sampaikan imbauan ini pada kerabat, saudara, tetangga atau orang yang Anda dukung untuk tidak menggunakan media tersebut sebagai alat kampanye. (Teluk Bone)

0 komentar

Komentar Anda


Latest Posts

MOMENTUM : 9 APRIL 2014

________LOJENG PULAWENG________

Our Sponsors

Our Sponsors

andi irwandi natsir