Budaya,
Menjaga Eksistensi Siri Na Pesse, Ayo Budayakan Harakiri
Posted Unknown
Published Senin, 22 April 2013
Kebanyakan
orang mengetahui harakiri sebagai “cara” bunuh diri ala Jepang saja.
Namun di balik pengertian umum tersebut, sebenarnya Harakiri mempunyai
sejarah panjang dan makna yang dalam. Secara harfiah harakiri berasal
dari dua suku kata, yakni hara dan kiri. Kata hara berarti peru t dan
kiri berarti potong. Harakiri disebut juga dengan seppuku. Harakiri
merupakan bagian dari bushido, yaitu kode etik seorang samurai
(prajurit) yang digunakan ketika kalah berperang, untuk menghindari
jatuh ke tangan musuh, dan menghindari rasa malu karena kalah, serta
sebagai wujud kesetiaan kepada daimsyo. Daimsyo ini merupakan sebutan
tuan tanah di Jepang.
Tidak
diketahui secara pasti kapan dan siapa yang melakukan Harakiri untuk
pertamakalinya. Namun ada suatu kisah yang cukup menarik untuk diangkat
dalam sejarah perjalanan harakiri di Jepang. Ini adalah kisah seorang
samurai, Saigo Takamori, yang hidup pada zaman edo akhir mendekati era
Meiji (1827-1877). Saigo Takamori adalah pemimpin pemberontakan terhadap
pemerintahan. Dalam perperangan yang dikenal dengan pemberontakan
setsuma, Saigo yang kalah dalam pergolakan akhirnya menghabisi hidupnya
dengan cara harakiri. Metode harakiri umumnya dilakukan oleh seorang
samurai dengan menancapkan pedang pada perut yang sudah diikatkan seutas
kain, lalu pedang ditarik dari kiri ke kanan, seperti gerakan merobek.
Pada era modern “kebiasaan” harakiri masih dilakukan oleh sebagian
orang di Jepang. Contohnya saja peristiwa yang terjadi di Tokyo pada 25
November 1970 . Pada hari itu seorang pengarang ternama bernama Yukio
Mishima melakukan harakiri disebuah markas militer di Tokyo . Penulis
novel Kinkakuji itu melakukan harakiri dibantu oleh beberapa anak
buahnya. Mishima bersama sejumlah anak buahnya yang terlatih secara
militer, hari itu menyerbu markas militer. Dia kemudian berpidato
diketinggian, mengenai Jepang yang kehilangan keagungan klasik. Lalu di
hadapan perwira tinggi yang ia sandera di markas tersebut, Mishima
melakukan harakiri. Tak lama berselang, seorang pengikutnya yang setia,
memenggal leher Mishima, sampai putus setelah empat kali pancung.
Kebudayaan
disuatu daerah memang memiliki karakteristik masing-masing.
Kebudayaan adalah proses dari cipta, karya, dan karsa manusia, untuk
itulah kebudayaan bisa dikatakan sebagai cerminan dari karakter, sifat
dan perilaku manusia-manusia yang mendiami suatu tempat. Kebudayaan
disuatu daerah akan berbeda dengan daerah lainnya, bahkan disuatu
Negara akan berbeda dengan Negara lainnya. Bahkan kebudayaan bisa
dijadikan pisau bedah dalam menganalisis dan menentukan mental dan
prilaku manusia dalam satu wilayah.
Kebudayaan sebagai sebuah proses cipta, karya dan karsa yang
mencerminkan karakter manusia bisa dipandang dari dua sisi yang
berlainan, yaitu kebudayaan bisa menghasilkan watak buruk dan watak
baik. Kebudayaan bisa menjawab faktor-faktor manusia dalam suatu
wilayah, apakah pekerja keras, malas, arogan, pemarah, bertanggung
jawab, lepas tanggung jawab dan lain sebagainya.
Jepang adalah sebuah Negara kaya kebudayaan, tetapi Jepang yang lepas landas dari zaman kegelapan, zaman Edo (1603-1867) sejak masa Tokugawa Ieayasu dan Jaman Samurai menuju ke zaman industri dan teknologi yang dibuka dengan sebuah restorasi, restorasi Meiji,
tidak begitu saja melepaskan karakter manusia-manusianya yang
menjunjung tinggi kebudayaan-kebudayaan hasil cipta, karya dan karsa
nenek moyangnya. Budaya malu adalah budaya khas jiwa-jiwa Samurai. budaya ini masih dipertahankan bangsa Jepang, walaupun Jepang sudah jauh lepas landas dari masa Samurai.
Pada masa Samurai,
ketika seseorang menyesali sebuah perbuatan atau meratapi
ketidak-mampuannya dalam mengurus setiap persoalan, maka orang ini akan
duduk tertunduk dan menghunuskan samurai kecil menusuk perutnya.
Inilah budaya harakiri (bunuh diri) sebagai simbol rasa malu,
simbol tanggung jawab atas ketidak-mampuan seseorang dan penyesalan.
Praktek ini memang sekarang ditinggalkan oleh orang Jepang, tapi
secara esensi dan subtansi bangsa Jepang ternyata tidak melupakan
budaya ini. Ketika seorang Pejabat merasa dirinya tidak mampu, korupsi
atau melakukan perbuatan yang dinilai bertentangan dengan norma-norma,
maka dengan lantang pejabat itu akan maju dan berteriak “saya
bertanggung jawab dan saya akan mengundurkan diri”. Inilah budaya malu
yang dipertahankan oleh bangsa Jepang. Ini wajib ditiru, ditengah
krisis rasa malu dan krisis tanggung jawab yang sedang menjangkiti
orang-orang penting bangsa ini.
Pengertian Harakiri dalam judul tulisan ini, harus kita reduksi, karena Harakiri (bunuh diri) bukanlah praktek beradab bagi masyarakat kita, apalagi kalau kita benturkan dengan norma agama. Tetapi makna Harakiri
harus kita beri pengertian sebagai budaya yang menjunjung rasa malu,
rasa bertanggung jawab dan rasa penyesalan. Ketika seorang pejabat
gagal dalam mengemban tugas dan amanahnya, maka budaya Harakiri
akan membuat pejabat itu tampil ke depan dan lantang berbicara, “saya
salah, saya tidak mampu, saya malu, maafkan saya dan saya akan
mengundurkan diri”.
0 komentar
Komentar Anda