Opini,
Pemimpin dan Visi Perubahan
Posted Unknown
Published Minggu, 21 April 2013
Genderang proses kampanye Pemilu 2014 telah dimulai. Hingar-bingar
konsolidasi dan kampanye (terbuka maupun terbungkus) para Partai Politik
maupun Tokoh yang kan running Pilpres nanti terdengar
diseluruh nusantara. Namun cara dan model tampaknya belum akan bergeser
secara signifikan dari pola-pola kampanye pemilu-pemilu sebelumnya.
Dimana dalam tiap kampanye atau sosialisasi selalu saja terjadi jualan
janji, tebar pesona, pencitraan dan hiburan massal artis-artis papan
atas, ditambah kalkulasi politik berbasis survey dan konsultan. Yang
menarik, survey beberapa lembaga sejak pertengahan tahun 2012 hingga
awal 2013 ini “berkesimpulan” rangkaian kampanye dan konsolidasi tokoh
serta partai politik yang massif dengan mob’s politics itu
cenderung sudah bisa terukur pengaruhnya terhadap perolehan suara partai
(semisal rilis survey SMRC, Februari 2013), artinya ukuran perolehan
suara Parpol sudah bisa diprediksi-menurut mereka- dengan atau tanpa
kampanye sekalipun. Kecuali ada gebrakan dan lompatan strategi baru yang
cukup menonjol.
Banyak indikator bisa kita runut sebagai hasil analisa terhadap
pelaksaan “prediksi” hasil Pemilu 2014 m3ndatang tersebut.
Sekurang-kurangnya tiga indikator diatas menjelaskan tiga poros penopang
yang menghubungkan tiga gugus (1), Kompetisi partai politik yang
semakin sedikit dan rivalitas caleg, (2) degradasi citra politisi dan
kinerja legislatif-eksekutif (disemua level) dan (3), penilaian pemilih
yang semakin terbuka. Dialektika tiga gugus ini tampaknya belum
menggeser pola-pola lama yang selama ini diterapkan dalam pemilu-pemilu
modern di Indonesia. Singkat kata, secara kualitatif, hasil Pemilu
sebelumnya belum beranjak naik kelas, serta Pemilu 2014 semakin diuji
hasilnya.
Menimbang Visi Politik
Dari pengalaman rangkaian prosesi suksesi demokrasi
kita (Pemilukada dan Pemilu sebelumnya) kita itu ada beberapa hal utama
yang senantiasa diperbincangkan oleh partai-partai, caleg ataupun
kepala daerah-yang incumbent pun kontestan baru. Yakni: (1) Mungkin yang
mulai terdengar klise itu adalah Visi Politik dan Perubahan, (2)
Komitmen untuk menjadi “bersih, pro rakyat, dan antikorupsi”, (3)
Regenerasi Kepemimpinan (yang tentu lebih praksis aras tempurnya). Tentu
saja soal Visi Politik dan Perubahan adalah pondasi substansial yang
senantiasa melatarbelakangi transformasi kekuasaan semestinya. Visi
Politik dimaksud bukan saja memberi cara pandang menyeluruh terhadap
zaman dan masa depan bangsa, tetapi juga bisa dioperasionalisasikan
sebagai jalan perubahan menuju kehidupan yang lebih baik secara konkrit
masyarakat.
Dalam memori kolektif kita yang ditanam oleh para (calon) elit
politik itu adalah janji-janji yang makin hari makin terdengar klise.
Makin mengumbar janji maka makin kelihatan kebohongan yang terus
diulang, namun jika tak ‘diamputasi’ bisa menjadi ‘kebenaran’ yang given.
Kata-kata yang mengandung makna filosofis dan etis—seperti
kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, keamanan, dan sebagainya—mengalami
pendangkalan dan tak lagi diposisikan sebagai ‘amanah politik’ dimana
seharusnya berakibat beban dan tanggungjawab yang wajib
ditunai-tugaskan.
Artinya dinamika politik bangsa ini belum menjadikan kehidupan
politik sebagai bagian dari kesadaran dan praktik kita menguatkan
sendi-sendi hidup kolektif kita. Secara metodis, visi politik bisa
digali dari beberapa aspek berikut yang saling tunjang. Semua aspek ini
wajib dikonstruksi dalam satu ruang baca secara koherensif.
Pertama, perjalanan sejarah bangsa, yang dimulai sebagai
sebuah unit ekonomi, unit sosial-kultural, lalu menjadi unit politik
bersatu. Pemahaman dan penerimaan terhadap dinamika sejarah bangsa akan
memberi cermin bagi kita dalam mengenali siklus naik dan siklus mundur
kolektif dan cara-cara yang pernah digunakan sebagai respon terhadapnya.
Dalam kaitan ini, visi politik harus menjadikan sejarah sebagai
pengetahuan sekaligus pandangan hidup kedepan yang berlaku menyeluruh.
Kedua, pemahaman akan situasi dan kondisi zaman,
kecenderungan, serta kekuatan-kekuatan (yang bersifat nyata pun virtual)
yang menggerakkannya. Tanpa memahami zamannya tak mungkin sebuah bangsa
akan eksis, bukan semata bio-politik, tetapi eksis dalam artian yang
utuh : sebagai bangsa berdaulat. Dengan memahami situasi zamannya, maka
sebuah bangsa bisa mendefiniskan kepentingan nasionalnya secara tegas,
kedalam pun keluar.
Ketiga, mengenali secara utuh potensi internal sekaligus
hambatan struktural yang membelenggu bangsa ini bergerak naik kasta.
Pengenalan ini bukan saja paradigmatik, tetapi juga teknis, yang bisa
berupa data base potensi sumberdaya manusia, sumberdaya alam, dan produk
kebijakan yang telah diproduksi. Termasuk juga wajib mengenali
‘jejaring korporasi’ yang meguasai sumberdaya alam dan arus keuntungan
yang tak dinikmati anak negeri.
Keempat, mendesain strategi pengelolaan jangka panjang, baik
yang berkaitan dengan kebijakan maupun sumberdaya manusia yang akan
mengelolanya. Strategi ini tentu diterjemahkan kedalam satu pentahapan
historis tertentu sebagai sebuah bangunan skenario (scenario building) yang menjadi milik seluruh penghuni negeri, bukan milik kelompok tertentu saja.
Ironi Politik tanpa Visi
Ironisnya, dalam perjalanan sejarah bangsa ini,
situasi hidup kolektif kita bukannya makin ringan jika diukur dari
cita-cita pendirian republik ini 67 tahun silam (1945-2012). Semisal
dalam situasi pergaulan internasional, peran kita dalam menciptakan
tertib dunia internasional yang setara, damai, dan bermartabat bagi
semua warga dunia tampaknya makin mengkerut dibawah bayang-bayang
multiipolarisme China, Eropa, India dan Amerika Serikat. Walaupun mulai
terlihat progress Indonesia menjadi kekuatan ekonomi dunia yang mulai
diperhitungkan.
Juga dalam dalil normatif bahwa kemerdekaan hadir untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, faktanya, kita justru dihadapkan dengan derasnya
komoditisasi pendidikan yang menjadi orientasi dominan pembangunan
sistem pendidikan nasional. Komoditisasi pendidikan bukan saja membuat
pendidikan menjadi barang mahal dan ‘elitis’, tetapi juga memberi
konsekuensi terhadap mobilitas vertikal rakyat. Bahwa mereka yang
berlatar belakang bukan turunan the havest agar tetap ‘ikhlas’ menerima ‘takdir struktural ‘berdiam didasar stratifikasi sosial-ekonomi.
Dua ironi diatas menjadi penegas bahwa hingar-bingar politik formal kita dan out-put
yang dihasilkan olehnya makin menjauhkan capaian nyata dan cita-cita
kemerdekaan sebagaimana diamanahkan didalam pembukaan UUD 1945.
Ketiadaan visi politik dalam pagelaran politik nasional, formal pun
keseharian hidup,hanya menistakan kesucian (ber)politik ini sendiri.
Tanpa visi politik, episode kehidupan politik kita yang formal, seperti
pemilu, hanya akan berulang menjadi rutinitas struktural yang mekanik
dan degradatif. Semoga kita sebagai generasi yang sadar terhadap mandate
sejarah sekaligus politik masa depan ini senantiasa “teguh sekaligus
tercerahkan.
2 komentar
Komentar Anda
21 April 2013 pukul 09.35
Assalamu Alaikum. Kami orang Bone yang ada di rantauan bangga bila ada putra Bone berhasil di level lebih tinggi lagi. Bapak Andi Irwandi sangat memenuhi syarat. mari kita memberi dukungan
30 April 2013 pukul 04.43
Maju Bone Biar tambah cakep